Kehilangan 2 kaki tak pernah membuat Mark Inglis patah semangat. Hanya dengan mengandalkan sepasang kaki palsu, pendaki gunung asal Selandia Baru ini masih sanggup menaklukkan puncak-puncak tertinggi di dunia termasuk Mount Everest (puncak tertinggi di Himalaya).
Mark Inglis yang saat ini berusia 51 tahun datang ke Indonesia untuk memotivasi para difabel agar tidak patah semangat menjalani hidup.
Dari cara berjalannya yang lincah, tak ada kesan sama sekali bahwa sesungguhnya pria berusia 51 tahun ini tidak memiliki kaki. Namun ketika celananya agak diangkat, Mark Inglis tampak lebih mirip 'robot' dengan kaki palsu yang seluruhnya terbuat dari besi.
Mark, demikian ia biasa dipanggil, adalah seorang peneliti sekaligus pendaki gunung profesional yang aktif berpetualang sejak tahun 1979. Sepanjang karirnya, pria asal Selandia Baru ini juga sering terlibat dalam kegiatan Search and Rescue (SAR).
Malapetaka menghampirinya pada tahun 1982, saat usianya baru 23 tahun. Bersama seorang rekannya yang bernama Philip Doole, kedua pendaki ini terjebak dalam gua es di puncak tertinggi Selandia Baru, Mount Cook National Park yang tingginya lebih dari 3.000 mdpl.
Keduanya terjebak bukan hanya satu atau dua jam saja, melainkan hampir 2 minggu lamanya. Malang bagi Philip yang akhirnya tewas dalam musibah itu, sementara Mark boleh bersyukur nyawanya masih terselamatkan meski kedua kakinya yang 'mati' harus diamputasi sebatas lutut karena membeku.
Sejak saat itu, Mark terpaksa harus menggunakan kaki palsu untuk dapat beraktivitas. Ia mengaku tak butuh waktu lama untuk beradaptasi hingga bisa berdiri, namun untuk bisa berjalan ia harus membiasakan diri selama bertahun-tahun.
Berkat ketekunannya, Mark akhirnya bisa mendaki gunung lagi pada tahun 2002. Gunung pertama yang dijelajahinya dengan kaki palsu adalah Mount Cook di Selandia Baru, gunung yang 10 tahun sebelumnya telah menewaskan salah satu rekannya dan merampas kedua kakinya.
Sejumlah gunung tinggi ia panjat sejak saat itu, termasuk puncak Cho Oyu di Nepal yang tingginya 8.201 mdpl dan merupakan puncak tertinggi ke-6 di dunia. Namun yang paling mencengangkan adalah pada 2006, Mark sukses menaklukkan puncak tertinggi dunia, mana lagi kalau bukan Mount Everest.
"Saya adalah pendaki gunung, kaki palsu bukan alasan untuk berhenti mendaki. Saya tidak ada kesulitan sama sekali dengan kaki palsu ini, saya bisa menggerakkannya seperti kaki asli," ungkap Mark saat ditemui dalam International Conference on Prosthetics and Orthotics di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Jumat (25/2/2011).
Sambil sesekali mendemonstrasikan kaki palsunya, Mark menjelaskan bahwa ekspedisi ke Mount Everest ia lakukan hanya dalam waktu relatif singkat. Hanya dalam 47 hari, ia sudah berhasil menyelesaikan ekspedisi yang dilakukannya bersama 11 anggota tim lainnya.
Bagi kaum difable (different ability), kaki palsu dan alat bantu gerak lainnya sangat membantu memperbaiki kualitas hidupnya. Sayangnya, di Indonesia belum banyak yang memproduksi sehingga kebutuhan akan alat bantu gerak atau prostesis masih mengandalkan import dari luar negeri.
"Prostesis yang diproduksi di dalam negeri kira-kira masih di bawah 5 persen, selebihnya harus impor. Sumber daya manusianya juga masih terbatas karena baru ada 2 sekolah yang mencetak tenaga profesional untuk prostesis yakni Poltekkes Surakarta dan Poltekkes Jakarta," ungkap Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih usai membuka konferensi yang baru pertama kalinya digelar di Indonesia tersebut.
Saksikan pada tayangan video berikut:
Mark Inglis yang saat ini berusia 51 tahun datang ke Indonesia untuk memotivasi para difabel agar tidak patah semangat menjalani hidup.
Dari cara berjalannya yang lincah, tak ada kesan sama sekali bahwa sesungguhnya pria berusia 51 tahun ini tidak memiliki kaki. Namun ketika celananya agak diangkat, Mark Inglis tampak lebih mirip 'robot' dengan kaki palsu yang seluruhnya terbuat dari besi.
Mark, demikian ia biasa dipanggil, adalah seorang peneliti sekaligus pendaki gunung profesional yang aktif berpetualang sejak tahun 1979. Sepanjang karirnya, pria asal Selandia Baru ini juga sering terlibat dalam kegiatan Search and Rescue (SAR).
Malapetaka menghampirinya pada tahun 1982, saat usianya baru 23 tahun. Bersama seorang rekannya yang bernama Philip Doole, kedua pendaki ini terjebak dalam gua es di puncak tertinggi Selandia Baru, Mount Cook National Park yang tingginya lebih dari 3.000 mdpl.
Keduanya terjebak bukan hanya satu atau dua jam saja, melainkan hampir 2 minggu lamanya. Malang bagi Philip yang akhirnya tewas dalam musibah itu, sementara Mark boleh bersyukur nyawanya masih terselamatkan meski kedua kakinya yang 'mati' harus diamputasi sebatas lutut karena membeku.
Sejak saat itu, Mark terpaksa harus menggunakan kaki palsu untuk dapat beraktivitas. Ia mengaku tak butuh waktu lama untuk beradaptasi hingga bisa berdiri, namun untuk bisa berjalan ia harus membiasakan diri selama bertahun-tahun.
Berkat ketekunannya, Mark akhirnya bisa mendaki gunung lagi pada tahun 2002. Gunung pertama yang dijelajahinya dengan kaki palsu adalah Mount Cook di Selandia Baru, gunung yang 10 tahun sebelumnya telah menewaskan salah satu rekannya dan merampas kedua kakinya.
Sejumlah gunung tinggi ia panjat sejak saat itu, termasuk puncak Cho Oyu di Nepal yang tingginya 8.201 mdpl dan merupakan puncak tertinggi ke-6 di dunia. Namun yang paling mencengangkan adalah pada 2006, Mark sukses menaklukkan puncak tertinggi dunia, mana lagi kalau bukan Mount Everest.
"Saya adalah pendaki gunung, kaki palsu bukan alasan untuk berhenti mendaki. Saya tidak ada kesulitan sama sekali dengan kaki palsu ini, saya bisa menggerakkannya seperti kaki asli," ungkap Mark saat ditemui dalam International Conference on Prosthetics and Orthotics di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Jumat (25/2/2011).
Sambil sesekali mendemonstrasikan kaki palsunya, Mark menjelaskan bahwa ekspedisi ke Mount Everest ia lakukan hanya dalam waktu relatif singkat. Hanya dalam 47 hari, ia sudah berhasil menyelesaikan ekspedisi yang dilakukannya bersama 11 anggota tim lainnya.
Bagi kaum difable (different ability), kaki palsu dan alat bantu gerak lainnya sangat membantu memperbaiki kualitas hidupnya. Sayangnya, di Indonesia belum banyak yang memproduksi sehingga kebutuhan akan alat bantu gerak atau prostesis masih mengandalkan import dari luar negeri.
"Prostesis yang diproduksi di dalam negeri kira-kira masih di bawah 5 persen, selebihnya harus impor. Sumber daya manusianya juga masih terbatas karena baru ada 2 sekolah yang mencetak tenaga profesional untuk prostesis yakni Poltekkes Surakarta dan Poltekkes Jakarta," ungkap Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih usai membuka konferensi yang baru pertama kalinya digelar di Indonesia tersebut.
Saksikan pada tayangan video berikut:
0 komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar, dengan sopan dan tidak membuat spam
Terimakasih
1.Ganti Berikomentar Sesuai Kemauan Agan, Untuk Comment Tanpa ID Pakai Anonymous
2.Klik Publikasikan
Admin : Menyengkiller